Jumat, 29 Oktober 2010

Luweng Musuk, Desa Bomo, Pacitan



 
            Luweng Musuk  berada dalam sebuah kawasan karst dengan morfologi bukit yang mempunyai kerapatan vegetasi sedang, terlihat dengan banyak ditemukannya berbagai jenis tumbuhan antara lain singkong, sayur-sayuran, pohon pinus, pohon jati, dan pohon pisang. Alhasil cukup terlihat singkapan karst yang signifikan dipermukaan. Di sebelah barat mulut goa terdapat sebuah bukit yang lebih tinggi dengan vegetasi berupa pohon jati dan ladang penduduk sehingga setiap pagi banyak masyarakat sekitar yang berlalu-lalang di sekitar mulut goa. Keselaluan menyapa dan keramahan setiap penduduk inilah yang membuat perjalanan ini semakin rileks meski goa sedalam 75 meter telah terpampang di hadapan kami.


Kawasan ini secara administratif berada di Dusun Luweng Songo, Desa Bomo, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan. Untuk pergi ke sana, dari kota Pacitan kita menuju ke arah Solo kemudian berbelok ke arah selatan mengikuti papan petunjuk menuju goa Gong. Perjalanan dari pusat kota Pacitan memakan waktu sekitar dua setengah jam menggunakan kendaraan pribadi. Dan ketika telah sampai di perempatan menuju goa Gong, tim berhenti dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ke arah barat sejauh 2 km dengan medan jalan berbatu diselingi aspal berlubang.

Pintu masuk (Entrance) Luweng Musuk berada dalam sebuah bukit di tengah-tengah hutan pohon jati. Luweng Musuk dapat dikatakan gua karena berdasarkan definisinya gua adalah lorong-lorong bawah tanah yang dapat dimasuki oleh manusia, penamaan ini sejalan dengan  International Union of Speleology (IUS). Luweng Musuk ini adalah gua alami yang terbentuk oleh proses geologi ratusan ribu atau ribuan tahun silam, menurut masyarakat setempat penamaan lokal gua ini lebih karena banyak terdapat “musuk” atau sejenis kelelawar yang keluar pada sore hari dan terkadang ditangkap oleh warga untuk dijual yang nantinya menghasilkan produk untuk mengobati penyakit asma.

 

Saat akan memasuki gua, tim harus ekstra hati-hati karena mulut Gua Gombong mempunyai bentuk sumuran bulat lebar dengan lorongnya yang menurun tajam (Vertical) sedalam ± 70 meteran sehingga agak sulit untuk dimasuki. Selain itu dibutuhkan peralatan dan keterampilan panjat tebing yang memadai untuk memasukinya. Setelah memasang tambatan utama (Anchor) melalui celah tembus pada batu besar didepan entrance untuk leading dan tali tetap yang menjuntai ke dasar gua (Fixed Rope), kemudian tim yang terdiri dari Conan, Mbek, Mujur, Kower, Permen dan Yeyek (penulis.red) bergiliran menuruni (Rapelling) sumuran tersebut untuk dapat merapat ke dasar gua. Setelah tim sampai di dasar gua yang berbentuk hutan kecil dengan vegetasi pepohonan kecil setinggi 3 meter dengan lebar dasar goa berbentuk lingkaran dengan diameter kurng lebih 40 m sedikit curam dan berair campur lumpur sehingga membuat lantai gua menjadi sulit ditelusuri karena licin dan rawan terpeleset. Kecuraman lantai dasar gua ini berakhir di sebuah sungai selebar 3 meter. Sungai bawah tanah inilah yang nantinya akan menjadi focus utama penelusuran Luweng Musuk.





 

Setelah beristirahat sebentar di pinggir sungai, tim memulai menelusuri pinggir gua, yang berupa sungai di bawah tanah, menuju ke hulu. Penelusuran dilakukan dengan berjalan menyusiri pinggir sungai, diselingi dengan berjalan sembari berendam di air sungai yang dingin. Sungai ini memiliki kedalaman setinggi lutut orang dewasa, dengan dasar sungai berupa lumpur pekat. Dinding sungai umumnya berupa batuan kapur yang keras membentuk alur-alur buah kikisan air yang terjadi selama ribuan bahkan jutaan tahun lamanya. Di sebelah atas yang menjadi atap sungai membentuk cekungan seperti kubah, berhiaskan stalaktit-stalaktit kecil, terkadang tim menjumpai straw, tetapi umumnya atap gua terdapat bercak-bercak hitam karena merupakan sarang kelelawar.





Sekitar 100 meter penelusuran sungai bawah tanah, tim menemukan percabangan menuju ke atas. Tim mencoba menelusuri percabangan tersebut dengan sedikit merayap dikarenakan lumpur tebal hampir menelan sepatu boot kami. Jalur ke atas merupakan batuan kapur yang masih rapuh untuk diinjak dan dijadikan pegangan. Dengan bantuan webbing akhirnya tim tiba di atas. Setelah dapat menegakkan badan, pemandangan ornament-ornamen goa yang begitu indah terpajang di depan mata kami. Ornament berupa stalaktif yang membentuk batu bertumpuk dengan diameter seragam yakni sekitar 10 cm berjajar rapi menyambut kedatangan mata kami. Di tempat inilah tim menggunakan kesempatan untuk berfoto ria, mengabadikan keindahan perut bumi untuk dinikmati jutaan manusia, 70 meter di atas sana.






 
Tim melanjutkan menyusuri sungai dengan medan yang masih sama dengan sebelumnya.  Terkadang diselingi jeram-jeram kecil. Semakin ke dalam semakin terasa udara semakin pengap. Oranament-ornament goa semakin bermacam-macam, ada yang seperti jamur kuping menempel di pohon tropis di waktu hujan, juga ada juga yang nampak seperti sawah berundak seperti di bali. Semua ornament itu terbuat dari batu yang menuruti kemauan sang air yang berkreasi membentuknya menjadi bentuk yang indah. Di ornament-ornament inilah kami belajar tentang kesabaran, ketenangan, dan kesyahduan yang akan menjadikan sesuatu itu indah. Sangat indah.

Setelah kira-kira 500 meter dari mulut goa, dengan tidak menemukan percabangan berikutnya, tim memutuskan untuk kembali pulang. Hal ini dikarenakan udara di dalam yang semakin sesak dikarenakan memang sedang berada di dalam perut bumi. Bau yang semakin menyengat dari kotoran kelelawar semakin membuat sesak dada kami, ditambah adanya kabut gua yang semakin tebal membatasi jarak pandang kami. Tentunya bukanlah hal yang patut disesali akibat penelusuran tidak secara tuntas dilakukan. Tetapi keselamatan dan kesehatan setiap anggota tim menjadi pertimbangan utama dalam berkegiatan di alam bebas.